Warga pulau kera menolak relokasi untuk pembangunan villa oleh PT. Pitoby grup

JNO NEWS

Warga pulau kera menolak relokasi untuk pembangunan villa oleh PT. Pitoby grup

KUPANG, JNONEWS.COM – Ratusan warga yang tinggal di Pulau Kera melolak keras pembangunan villa, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang Nusa Tenggara Timur (NTT) yang mengatasnamakan Masyarakat Adat Suku Bajo Pulau Kera dengan tegas menolak kegiatan pembangunan Villa di Pulau Kera oleh PT Pitoby Grup. 
Sebab, kawasan Pulau Kera tersebut telah dihuni oleh leluhur Masyarakat Adat Suku Bajo sejak Tahun 1884. Hal ini diungkapkan Ketua RW 13 sekaligus Tokoh Masyarakat di Pulau Kera Hamdan Saba yang didampingi oleh Ketua DPAC Perkumpulan Orang Same Bajo Indonesia Pulau Kera, Imam Masjid Pulau Kera Arsyad Abdul Latif dan Keturunan garis lurus almarhum Almarhum Jumila Asal Bajo, Abdullah Sapar-Dethan dalam Konferensi Pers di Restoran Celebes Kota Kupang, Senin, 5 Mei 2025 siang.

Menurutnya, Pulau Kera, sebuah pulau kecil di Kelurahan Sulamu, Kecamatan Sulamu, Kabupaten Kupang yang sangatlah berharga dan tidak bisa terpisahkan dari leluhur masyarakat Suku Bajo, karena Almarhum Jumila yang berasal dari Suku Bajo yang menginjakkan kaki dan tinggal pertama kali di pulau tersebut sejak Tahun 1884 dan ditandai dengan makam atau kuburan tua milik Almarhum Jumila yang masih ada hingga saat ini di Pulau Kera.

“Leluhur kami Almarhum JUMILA memiliki dua istri. Istri pertama Almrahumah MBO MBOKI asal Suku Bajo dan istri kedua Kai Modo Ina asal suku Timor dan masuk Islam bernama Halima , Kai Modo, Ina atau Halima keturunan dari trah Raja Nisnoni dari suku Helong. Sedangkan Almarhum Jumila memiliki delapan orang anak, anak ke-tiga Jumila bernama Muhammad Bin Jumila yang beristrikan Almarhumah Raipa adalah keturunan Raja Oenale dari marga Dethan asal suku Rote,” ungkap Hamdan Saba.

Oleh karena itu, kata Hamdan masyarakat Suku Bajo di Pulau Kera merasa terhina dan terluka apabila Pulau Kera yang dihuni pertama kali oleh leluhur Suku Bajo Almarhum Jumila dan sebagai orang pertama yang menginjakkan kaki pertama kali dipulau tersebut tidak dihargai dan diinjak – injak, olehnya sebagai masyarakat adat Pulau Kera, pemilik tanah yang sah yang dipaksa untuk direlokasi ketempat lain dan memberikan ijin kepada PT Pitoby Grup tanpa sepengetahuan masyarakat.

“Kami masyarakat Adat Suku Bajo menolak rencana pembangunan 20 unit Vila oleh PT Pitoby yang bekerja sama dengan PT Kuatra yang sudah direncakan sejak akhir bulan April 2025 kemarin,” katanya.

“Bahwa kami merasa bersalah terhadap leluhur kami kalau membiarkan pengrusakan dan penghancuran komunitas adat dan budaya dipulau ini dengan melakukan aktivitas tanpa sepengetahuan kami. Oleh karena itu kami akan berjuang sampai kapanpun untuk mengusir Keluar orang – orang yang tidak bertanggungjawab yang melakukan aktivitas diatas lahan leluhur kami tanpa ijin. Jika permintaan kami tidak diindahkan, apalagi melalakukan kegiatan tanpa musyawarah atau diskusi atau partisipasi dengan warga masyarakat adat Pulau Ker sebagai bentuk tanggungjawab atas tanah leluhur. Kami siap berjuang melawan segala bentuk kedzoliman dan penghancuran tanah adat kami di Pulau Kera yang dilakukan dengan tidak menghargai budaya dan kemanusiaan penghuni Pulau Kera ini,” tengas Hamdan.

Dikatakan, proses pembangunan yang merusak tananan adat dan budaya serta hendak berusaha menghilangkan identitas Suku Bajo sebagai warga masyarakat adat di Pulau Kera yang telah mendarah daging dan bernak pinak sebagai warga NTT diperlakukan dengan tidak adil, diskriminasi dan tanpa peri kemanusiaan yang dengan keangkuhan hendak merelokasi penduduk Pulau Kera ketempat lain tanpa ada diskusi dan dialog dengan masyarakat terlebih dahulu.

“Kami mengecam keras rencana relokasi warga Pulau Kera ke tempat lain dengan apapun alasannya, dan kami mendesak segera menghentikan aktivitas Pitoby Grup yang membangun 20 Villa (Pitoby Raya Resort) diatas tanah adat, peninggalan leluhur kami di Pulau Kera,” (NK-WD)


Lebih baru Lebih lama