JNO Jombang | Polemik tanah di Desa Jombok, Kecamatan Kesamben, kabupaten Jombang provinsi Jawa timur, menyeruak ke permukaan setelah 15 tahun dibungkam dalam diam. Tanah yang dibeli oleh Tinjam dari ahli waris sah, Sumikah dan Sarimah, pada Kamis, 9 Juni 2010, lewat akta jual beli resmi, justru memunculkan banyak tanda tanya besar.
Tinjam dan tim meminta salinan letter C no 492 ke balai desa, dengan berbagai alasan perangkat tidak bisa memberikan salinan letter C tersebut, kemudian malamnya Tinjam dan tim menemui polo Zainal dan sekdes Kiki, beliau mengatakan bahwa letter C tersebut salah dan milik orang lain dan diarahkan mediasi.
Alih-alih terang benderang, akta jual beli tersebut ternyata mengandung kejanggalan: Nomor Letter C milik orang lain dan luas tanah yang tidak sesuai dengan fakta di lapangan! Apakah ini sekadar keteledoran, atau sudah masuk ranah pemalsuan dokumen?
Baru-baru ini, mediasi diadakan di Balai Desa Jombok. Tapi anehnya, alih-alih menyelesaikan sengketa, Tinjam justru “terpaksa” harus menjual sebagian tanahnya yang diserobot di sebelah timur rumahnya, sedangkan lahan utama yang menjadi sengketa di belakang rumah—masih belum tuntas. Mediasi yang seharusnya menjadi wadah mencari keadilan malah berubah menjadi “panggung kompromi ”.
Lebih mencurigakan lagi, sosok bernama Zainal, yang mengaku Kasun Jombok seolah "pemilik" balai desa, melarang tim kuasa pendamping Tinjam untuk hadir dengan alasan mediasi sudah selesai. Padahal proses belum usai! Siapa sebenarnya Zainal ini? Atas dasar apa ia bisa melarang proses tim kuasa pendampingan Tinjam? Ada apa yang disembunyikan?
Saat dikonfirmasi, Kades Jombok, Drs Abdul Muchid, dengan santai menjawab, “Sudah selesai, ini masalah keluarga.” Namun ketika ditanya lebih dalam oleh tim media, ia akhirnya mengaku, “Sudah ada kesepakatan antara kedua belah pihak.”
Tapi... fakta di lapangan justru mencengangkan! Keluarga Tinjam menyatakan bahwa yang mereka permasalahkan bukan tanah warisan, melainkan keabsahan akta jual beli dengan Letter C No. 492 yang bermasalah! Lantas, kenapa yang dibahas dalam mediasi justru tanah waris, bukan inti masalahnya? Ada apa yang sedang ditutup-tutupi?
Benarkah ini buah dari kepemimpinan 3 periode Kades Abdul M yang dinilai makin amburadul dalam tata kelola administrasi desa? Atau ada “permainan” yang lebih besar di balik layar? (Red.hr jno)