JNO Mojokerto | Rolak Songo, bendungan besar di Mojokerto, selama ini dikenal sebagai penyelamat dari banjir. Tapi di balik kejayaannya, ada cerita yang jarang dibicarakan—kisah rakyat kecil yang jadi korban pembangunan.
Tahun 1852, banjir besar terus melanda Mojokerto dan Sidoarjo. Kolonial Belanda memutuskan membangun bendungan besar untuk mengendalikan sungai Brantas. Namanya: Rolak Songo, karena memiliki sembilan saluran air utama.
Tapi pembangunan itu bukan tanpa korban. Ratusan bahkan ribuan warga dipaksa bekerja keras tanpa upah. Mereka tidur di tanah, makan seadanya, dan banyak yang sakit. Malaria dan disentri merajalela. Banyak yang meninggal, tapi tak ada nama, tak ada nisan.
Air Mata yang Terlupakan
Warga menyebut bendungan ini bukan hanya penahan banjir, tapi juga kuburan tanpa batu nisan. Konon, arwah para pekerja masih menghuni area bendungan hingga kini.
Tahun 1857, bendungan selesai. Sungai Brantas bisa dikendalikan. Sawah panen kembali. Tapi semua itu dibayar mahal oleh rakyat biasa yang suaranya tak pernah terdengar.
Rolak Songo bukan hanya bendungan air, tapi juga saksi bisu penderitaan dan harapan.
Hr JNO NEWS Mengabarkan
Sumber Cerita _Jowo