“Sound Horeg di Ujung Palu Hukum: Antara Pesta Rakyat dan Teror Kebisingan”


JNO Mojokerto | Dentuman Sound Horeg kian mewarnai malam-malam pesta rakyat. Dari pelosok desa hingga kota pinggiran, fenomena ini menjelma jadi magnet hiburan murah meriah yang digemari masyarakat. Speaker raksasa, efek asap, strobo menyilaukan, hingga suara DJ lokal jadi ‘jantung’ acara hajatan dan pentas jalanan.

Namun, euforia itu menyimpan polemik: warga yang terganggu, anak-anak menangis di rumah, kaca bergetar, dan dada orang dewasa ikut berguncang karena volume yang luar biasa — mencapai 120 hingga 135 desibel! Melebihi ambang aman versi WHO yang menyarankan maksimal 70 dB, bahkan konser musik live pun kalah bising.

dr. Gina Noor Djalilah Sp.A., M.M. dari UM Surabaya mengingatkan bahwa kebisingan ekstrem ini punya dampak medis serius, bahkan permanen pada pendengaran.

Hukum Bicara: Sound Horeg Tidak Kebal Aturan

Bicara hukum, Sound Horeg bukan lagi sekadar soal ‘selera musik’. Ia berhadapan langsung dengan norma-norma berikut:

1. Lingkungan Hidup: Polusi Suara Bukan Sekadar Gangguan

Sesuai Keputusan Menteri LH No. KEP-48/MENLH/11/1996, polusi suara harus dikendalikan dan tidak boleh melebihi 70 dB. Bila Sound Horeg dilakukan di lokasi tetap, pelakunya harus punya Izin Gangguan/HO. Tidak ada izin? Itu bisa dianggap pelanggaran hukum lingkungan hidup.

2. UU Lalu Lintas: Jalanan Bukan Tempat Konser

Jika Sound Horeg berpindah-pindah di jalanan, maka UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu Lintas dan Angkutan Jalan berlaku.

Pasal 48: Kendaraan harus memenuhi syarat teknis, termasuk batas suara.

Pasal 279 & 305: Pelanggaran bisa dipidana 2 bulan kurungan atau denda hingga Rp500.000.


Polisi berhak menindak jika kendaraan mengangkut barang (sound system) yang melanggar hukum dan membahayakan keselamatan.

3. Keramaian: Wajib Ada Izin Resmi

Jika Sound Horeg hadir dalam even hajatan atau pertunjukan, maka harus tunduk pada Juklap Kapolri No. Pol/02/XII/95. Polisi bisa menolak izin atau membubarkan acara bila tingkat kebisingan melewati batas atau meresahkan warga.

Masih Abu-Abu: Sound Horeg Perlu Diatur Khusus

Meniurut SUTARJO, S.H., M.H.Staff Ahli AMPHIBI Jawa Timur.


Faktanya, belum ada aturan spesifik yang mengatur Sound Horeg. Maka, perlu Perda Khusus yang membahas secara rinci soal polusi suara di satu titik, di jalan, maupun dalam event-event.

Sementara menunggu lahirnya aturan tersebut, aparat tetap bisa menjerat pelanggar menggunakan UU Lingkungan Hidup, dengan pendapat ahli dari dinas terkait.

Namun perlu diingat, sanksi pidana bukan solusi utama. Prinsip ultimum remidium menegaskan hukum pidana sebagai jalan terakhir. Pendekatan pembinaan dan edukasi tetap harus dikedepankan.

Tanggapan dari Pendukung Sound Horeg Mbah Tarjo : “Jangan Matikan Ekspresi Rakyat Kecil!”

Pendukung Sound Horeg punya suara tersendiri:

“Sound Horeg bukan cuma soal musik keras. Ini simbol kebahagiaan, ekspresi warga desa yang tak punya akses ke hiburan mahal. Kenapa konser besar bisa, tapi hajatan rakyat dilarang?”


“Kalau masalahnya suara, kenapa tidak dikontrol saja volumenya, bukan dibungkam total? Kenapa rakyat kecil selalu yang jadi sasaran pembatasan?”


Banyak yang berharap pemerintah tidak serta merta mematikan budaya lokal, melainkan menyusun regulasi yang adil dan terukur — misalnya membatasi jam operasional, volume maksimal, atau kewajiban isolasi suara.

Penutup: Bukan Anti Hiburan, Tapi Pro Keseimbangan

AMPHIBI bukan anti-hiburan rakyat. Namun ketika hiburan menimbulkan dampak kesehatan dan gangguan serius, maka negara tak bisa diam. Harus ada jalan tengah: hiburan tetap hidup, lingkungan tetap aman.

AMPHIBI Hadir untuk Solusi — Yes! Yes! Yes!
Salam Kelestarian Lingkungan Hidup.
( Red Imam Amphibi Mojokerto)

Lebih baru Lebih lama